Tidak semua peradaban memisahkan Ilmu dan seni misalnya di jawa
sampai bad ke 19 kedua kebudayaan ini masih menjadi satu. Disisni akan di
jelaskan antara Sejarah sebagai ilmu dan sebagai seni.
Sejarah Sebagai Ilmu
Sejarah itu empiris. Sebagai ilmu sejarah termasuk ilmu-ilmu
empiris (bahasa Yunani empeiria berarti pengarang Sejarah sangat tergantung
pada pengalaman manusia. Pengalaman itu direkam dalam dokumen. Dokumen-dokumen
itulah yang diteliti sejarawan untuk menemukan fakta. Fakta-fakta itulah yang
diinterpretasi. Dari interpretasi atas fakta-fakta barulah muncul tulisan
sejarah.
Jadi meskipun ada perbadaan mendasar dengan ilmu alam, tapi
memiliki kesamaan, sama-sama berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan
penyerapan. Akan tetapi dalam ilmu alam percobaab itu dapat di ulangi sedangkan
dalam sejarah tidak dapat mengulangi percobaannya. Perbedaan antara sejarah dan
ilmu-ilmu alam tidak terletak pada cara
kerjanya tetapi pada objeknya.
Sejarah itu mempunyai objek. (Bahasa Latin objectus berartiyang di
hadapan, sasaran, tujuan), Sejarah sering dituduh sebagai sesuatu yang tidak
jelas. Biasanya sejarah dimasukkan dalam ilmu kemanusiaan karena objeknya
adalah manusia. Akan tetapi, sama-sama membicarakan tentang manusia, kajian
sejarah berbeda dengan kajian antrologi. Lebih dari segalanya mempunyai objek
sendiri yang tak dimiliki ilmu lain secara khusus. Karna itu soal asal mula
selalu menjadi bahasan utama. Urusan sejarawan hanyalah penjelasannya, dan
urusan peringatan spenuhnya keputusan politik.
Sejarah itu mempunyai teori. (Bahasa Yunani theoria berarti
renungan). Sama seperti ilmu lain, sejarah juga mempunyai teori
pengetahuan(sering di sebut filsafat sejarah kritis). Teori pada umumnya berisi
satu kumoulan tentang kaidah pokok suatu ilmu. Dalam filsafat disebut
epistemologi, dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti wacana. Ilmu-ilmu alam menjadikan alam sebagai objeknya, sedangkan
ilmu sejarah mempunyai objek sendiri yaitu manusia dalam waktu. Meskipun
sama-sama pengetahuan tentang waktu, sejarah juga membedakan dirinya dengan
mitos. Mitos tidak menjelaskan tentang kapan sesuatu terjadi, sedangkan bagi
sejarah penjelasan tentang waktu itu penting.
Sejarah itu mempunyai generalisasi. (Bahasa Latin generalis berarti
umum). Sama dengan ilmu lain, sejarah juga menarik kesimpulan-kesimpulan umum.
Hanya saja perlu diingat kalau ilmu-ilmu lain bersifat nomotetis, sejarah itu
pada dasarnya bersifat idiografis. Generalisasi sejarah sering kali merupakan
koreksi atas kesimpulan-kesimpulan ilmu lain.
Sejarah itu mempunyai metode. (Bahasa Yunani methodos berarti
cara). Untuk penelitian, sejarah mempunyai metode tersendiri yang mengunakan
pengamatan.Kalau ternyata suatu pernyatan tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah, maka pernyataan itu ditolak. Metode sejarah mengharuskan orang untuk
berhati-hati. Dengan metode sejarah orang tidak boleh menarik kesimpulan
terlalu berani. Ditakutkan penarikn kesimpulan yang terlalu detail itu malah
tidak sesuai dengan kenyataan sejarah.
Ilmu memberikan konsep. Karena sejarah pada umumnya memakai bahasa
sehari-hari,ia memerlukan sumbangan konsep. Dan ilmu memberikan sifat
sinkronis. Sejarah itu pada dasarnya ialah ilmu diakronis, yang memanjang dalam
waktu, tetapi dalam ruang yang sempit. Ketika sejarah bersentuhan dengan ilmu
sosial, sejarah menjadi ilmu yang juga sinkronis. Artinya,selain memanjang
dalam waktu, sejarah lalu juga melebar
dalam ruang. Jadi, dengan sumbangan ilmu, sejarah ilmu diakronis juga ilmu
sinkronis, mak lengkaplah sejarah.
Sejarah Sebagai Seni
Sejarah memerlukan intuisi. Dalam memilih topik, sejarawan sering
tidak bisa mengandalkan ilmu yang dimiliki. Ia akan memerlukan ilmu sosialdalm
menentukan sumber apa saja yang harus dicari, demikian pula dalam interpretasi
data. Akan tetapi, sejarawan juga memerlukan intuisi atau ilham, yaitu
pemahaman langsung dan instingtif selama masa penelitian berlangsung. Apa yang
harus dikerjakan setiap langkah memerlukan kepandaian sejarawan dalam
memutuskan apa yang harus dilakukan. Sering terjadi untuk memilih suatu
penjelasan, bukan peralatan ilmu yang
berjalan tetapi intuisi. Dalam hal ini, cara kerja sejarawan sama seperti
seniman. Sering sejarawan merasa ia tidak lagi sanggup melanjutkan tulisannya,
terutama kalau itu berupa deskripsi atau penggambaran peristiwa. Dalam keadaan
tidak tau itu, sebenarnya yang diperlukan adalah intuisi. Untuk mendapatkan
intuisi sejarawan harus kerja keras dengan data-data yang ada, apa yang bisa
dikerjakan. Disinilah beda intuisi sejarawan dengan intuisi pengarang. Mungkin
pengarang akan berjalan-jalan sambil melamun, tetapi sejarawan harus tetap
ingat data-datanya.
Sejarah memerlukan imajinasi. Dalam pekerjaanya, sejarawan harus
dapat membayangkan apa yang sebenarnya, apa yan sedang terjadi, dan apa yang
terjadi sesudah itu. Sejarah juga memerlukan emosi. Pada abad ke 19, sejarah
dianggap sebagai cabang sastra. Akibatnya, menulis sejarah harus dengan
ketrlibatan emosional. Penulisan harus berempati (bahasa Yunani empatheia
berarti perasaan), menyatukan perasaan dengan objeknya. Diharapkan sejarawan
dapat menghadirkan objeknya seolah-olah pembacanya mengalami sendiri peristwa
itu. Untuk sejarah kebusayaan, menghadirkan itu sangat penting.
Sejarah memerlukan gaya bahasa. Gaya bahasa yang baik, tidak
berarti gaya bahasa yang penuh berbunga-bunga. Kadang-kadang bahasa yang lugas
lebih menarik. Gaya bahasa yang berbelit-belit dan tidak sistemtis jelas
merupakan bahasa yang jelek. Dalam tulisan sejarah, deskripsi itu seperti
melukis yang naturalis. Yang diperlukan adalah kemampuan untuk menuliskan
detail.
Seni memberi karakterisasi. Seni sastra dapat menyumbangkan
miliknya yang berupa karekterisasi pada biografi. Sejarawan mungkin tidak
terlalu sadar bahwa ia harus menggambarkan watak orang dalam deskripsinya.
Sejarah yang berhubungan dengan peristiwa, tidak begitu peduli dengan watak
orang. Seni memberikan stuktur. Kebanyakan sejarawan tidak menyadari pentingnya
struktur atau plot atau dalam tulisanya. Sekalipun alur dalam sastra berbada
dengan alur pada sejarah, tetapi ada persamaanya. Sejarawan mengarjakan itu
dengan cara naluri. Setiap kali akan ia akan menuliskan sebuah peristiwa, ia
selalu mulai dengan melukiskan latar belakang peristiwa itu. Sedikit para
sejarawan sadar bahwa teknik itu adalah teknik sastar yang disebut foreshadowing
atau pelukisan sebelum sebuah peristiwa.
0 comments:
Post a Comment