A. Positifisme Empiris August Comte
a.
Biografi August Comte
Auguste Comte
dilahirkan di Montpellier, Perancis pada tahun 1798. Comte berasal dari kaum
bangsawan. Sejak mahasiswa ia dikenal sebagai pemberontak dan akhirnya dipecat
karena mendukung Napoleon. Dalam karir prefesionalnya, Comte memberikan
pelatihan di bidang matematika walaupun perhatian sebenarnya adalah pada
masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Dalam perjalanan karirnya, ia
banyak dipengaruhi oleh Saint Simon yang mempekerjakannya sebagai sektreataris,
walaupun pada akhirnya mereka masing-masing memiliki pandangannya sendiri.
Sumbangsih nyata dari Comte terhadap perkembangan filsafat dibarengi pula oleh
sumbangan pemikirannya terhadap sosiologi. Awal munculnya aliran positivism
didasarkan kepada kepercayaan terhadap hukum-hukum alam sebagai kendali
terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu, dari dasar pemikiran ini
kepercayaan terhadap takhayul, ketakutan, kebodohan, dan paksaan, dan konflik
sosial dihilangkan dari masyarakat. Pandangan inilah yang menjadi awal
kelahiran aliran positivism.[1]
b.
Pengertian Positivisme
Pengertian
positif menurut Auguste Comte:
1.
Sebagai
pensifatan sesuatu hal yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang
mengatakan bahwa filsafat positifisme itu, dalam menyelidiki obyek sasaraannya
berdasarkan pada kemampuan akal, sedangkan hal-hal yang tidak dapat dijangkau
oleh akal tidak akan dijadikan saasaaran penyelidikan.
2.
Sebagai
pensifatan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang
menyatakan bahwa didalam filsafat positifisme, segala sesuatu harrus diarahkan
kepada pencapaian kemajuan.
3.
Sebagai
pensifatan sesuatu yang sudah pasti. Hal ini sesuaia dengan ajarannya yang
menyatakan bahwa filsafat harus mencapai pada suatu keseimbangan yang logis
yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat.
4.
Sebagai
pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Hal ini sesuai dengan ajarnnya yang
menyatakan bahwa dalam pemikiran filsafati, kita harus dapat memberikan
pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenei gejala-gejala yang Nampak
maupun apa yang sebenarnya.[2]
c.
Ajaran-Ajaran
Filsafat Positifisme Adalah:
1.
Hukum Tiga Tahap
Dalam karyanya Auguste Comte, dia menjelaskan bahwa sejarah umat
manusia baik secara individual maupan keseluruhan, berkembang melalui tiga
tahap yaitu teologi atau fiktif, metafisik, dan positif atau riel.
a.
Tahap Teologi
Dalam tahap
ini, mannusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama
dan tujauan akhir segala sesuatu yang ada. Menurut dia tahap teologi ini akan
muncul begitu saja, melalui didahului pula oleh suatu yang berkembang secara
bertahap, yaitu
· Fetisyisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari
oleh pemikiran-pemikiran yang mempumyai tanggapan bahwa segala sesuatu yang
berada disekililing manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti
manusia sendiri, dan mempunyai pengaruh yang menentukan kehidupan manusia. Adapun
yang dimaksud segala sesuatu itu adalah
gunung, sungai, pohon, dan segala sesuatu yang dibuat manusia itu
sendiri.
· Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari
oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau
kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari benda-benda yang berasal dari
benda-benda yang berada disekeliling manusia, melainkan dari makhluk-makhluk
yang tidak kelihatan.
· Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasarkan
pada pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa pengaruh dan kekuatan
penentu itu tidak lag iberasal dari dewa-dewa, melainkan berasal dari suatu
yang mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
b.
Tahap Metafisik
Dengan
berakhirnya monoteisme berakhir pula tahap teologi, ini disebabkan karena
manusia mulai merubah cara-cara berfikirnya, dalam usahanya utuk mencari dan
menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
gejala-gejala alam. Menurut Auguste Comte, tahapini merupakan tahap peralihan
sebagaimana yang dialami oleh setiap manusia. Menurut Auguste Comte dalam
sejarah kehidupan manusia, yang dimaksud dengan tahap metafisik adalah tahap
ketika umat manusia datang pada zaman Reinissence.
c.
Tahap Positif
Tahap positif
merupakan tahap dimana jiwa manusia sampai pada pengetahuan yang tidak lagi
abstrak, tetapi pasti, jelas, dan bermanfaat. Tahap ini menurutnya merupakan
tahap perkembangan masyarakat pada saat industrialisasisudah dapatdikembangkan,
disartai peranan kaum cendekiawan dan industrialis yang bersama-sama mengatur
masyarakat secara ilmiah.[3]
d. Penggolongan Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing
didapatkan sebagai hasil pemeriksaaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti
dengan menggunakan metode-metode tertentu. Ilmu pengetahuan prinsipnya
merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematiskan common
sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan
pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran
secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Pada
dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan Auguste Comte sejalan
dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan
bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling
umum akan tampil terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala pengetahuan
yang semakin lama semakin rumit atau kompleks dan semakin kongkret. Karena
dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahuan, Auguste Comte memulai dengan
mengamati gejala-gejala yang paling sederhana, yaitu gejala yang letaknya
paling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari. Urutan dalam penggolongan ilmu
pengetahuan Auguste Comte sebagai berikut:
1. Ilmu
pasti (matematika)
2. Ilmu
perbintangan (astronomi)
3. Ilmu
alam (fisika)
4. Ilmu
kimia
5. Ilmu
hayat (fisiologi atau biologi)
6.
Fisika sosial (sosiologi)
Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut
Auguste Comte secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagi berikut:
1. Ilmu
pengetahuan
a.
Logika (matematika murni)
b. Ilmu
pengetahuan empiris (astronomi, fisika, biologi, sosiologi)
2.
Filsafat
a.
Metafisika
b.
Filsafat ilmu pengetahuan
B.
Logika Induksi John S. S.mill
1.
Biografi John S. Smill
John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris,
20 Mei 1806 – meninggal di Avignon, Perancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun)
adalah seorang filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal sebagai reformator
dari utilitarianisme sosial. Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan
akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang merupakan inti filsafat Mill, dari
ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada usia
20 tahun, ia pergi ke Perancis untuk mempelajari bahasa, kimia, dan matematika
2.
Pengertian Logika
Sebelum kita membahas tentang logika induksi, terlebih
dahulu kita mengetahui apa itu logika. Logika adalah sebuah cabang filsafat
yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Mil Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika
mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara
tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa
dianggap sebagai cabang matematik. [4]
Logika merupakan suatu dasar untuk memperoleh pengetahuan yang
benar, sebab tanpa logika penalaran tidak mungkin dilakukan, dan tanpa
penalaran pengetahuan tidak akan dibenarkan. Kegiatan penalaran tidak akan
lepas dari logika. Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari
kebenaran. Dasar penalaran logika ada dua yaitu, penalaran logika deduktif dan
penalaran logika induktif.
Logika Induksi adalah sebuah
proses penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu,
bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika
penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi.
Menurut John Stuart Mill, penalaran logika induktif adalah
penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai
kesimpulan umum. Contohnya,
Kuda Sumba
punya sebuah jantung
Kuda Australia
punya sebuah jantung
Kuda Amerika
punya sebuah jantung
Kuda Inggris
punya sebuah jantung
∴ Setiap kuda
punya sebuah jantung
Dalam logika induksi disini terbagi atas empat asumsi yaitu:
1.
Generalisasi
2.
Hipotesis dan Teori
3.
Analogi
4.
Sebab-Akibat[5]
3.
Empat Macam Kejadian Logika Induksi
Pada pembahasan kali ini kita akan menjelaskan “Logika Induksi”
oleh John S. Mill. Ia mengemukakan logika induksinya dengan cara menelaah sebab-akibat
kejadin. Sebab-akibat yang dipaparkan oleh John S. Smill ini dibagi
atas empat macam yaitu:
a.
Metode Persetujuan, yaitu jika dua hal atau lebih dari fenomena yang diteliti
memiliki hanya satu faktor yang sama, maka faktor satu-satunya di mana hal-hal
itu bersesuaian adalah sebab (atau akibat) dari fenomena yang diteliti itu.
b.
Metode Perbedaan, yaitu jika satu hal terjadi dalam fenomena yang
diteliti, dan satu hal yang tidak terjadi dalam fenomena yang diteliti itu,
memiliki semua faktor yang sama, terkecuali satu yang terjadi pada hal yang
pertama, maka satu-satunya faktor di mana kedua hal itu berbeda adalah akibat
atau sebab yang sangat menentukan sebab dari fenomena tersebut
c.
Metode Persamaan Variasi,
yaitu fenomena apa pun juga yang dengan suatu cara mengalami perubahan kapan
pun fenomena lainnya dengan suatu cara tertentu mengalami perubahan adalah
sebab atau pun akibat dari fenomena tersebut, atau berhubungan dengan fenomena
tersebut selaku fakta yang menyebabkan perubahan itu.
d.
Metode Residu (sisa-sisihan),
yaitu dari suatu fenomena hilangkanlah bagian yang lewat berbagai induksi yang
telah dilakukan sebelumnya diketahui akibat dari antesenden-antesenden
tertentu, dan residu (sisa) fenomena adalah hasil dari antesenden yang masih
tertinggal.[6]
Ada empat hukum dasar dalam Logika Induksi (Aristotoles, ;G.W. Leibniz, 1646-1716; John Stuart Mill, 1806-1873.
1.
Hukum Identitas (Principium Identitatis/Law of Identity) yang menegaskan bahwa
sesuatu itu adalah sama dengan dirinya sendiri. Hukum ini adalah hukum kesamaan
yang artinya bahwa jika a=b dan b=c, maka a=c atau a terjadi maka c juga terjadi.
2.
Hukum Kontradiksi (Principium Contradictionis/Law of Contradiction) atau hukum
perbedaan, yang menyatakan bahwa sesuatu itu pada saat yang sama tidak dapat
sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu.
Jika a tidak sama dengan b, dan b tidak sama dengan c, maka tidak mungkin a dan
c terjadi bersamaan pada waktu yang sama.
3.
Hukum Tiada Jalan Tengah (Principium Exclusi Tertii/Law of Excluded Middle) yang
mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak
memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan lain. Jika a diketahui
dan b diketahui, maka adanya kejadian
tersebut (c) mesti karena sebab lain.
4.
Hukum Cukup Alasan (Principium Rationis Sufficientis/Law of Sufficinet Reason) yang
menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu haruslah
berdasarkan alasan yang cukup. Artinya tidak ada perubahan yang tiba tiba tanpa
alsan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Hukum ini merupakan
hukum pelengkap hukum identitas.
DAFTAR PUSTAKA
Kwee, Beerling & Van Peursen, Mooij. Pengantar Filsafat Ilmu.
1986 Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. 2002. Yogyakarta:
Kanisius.
Wibisono, Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste
Comte. 1996. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poedjawijatna. Logika Filsafat Berfikir. 1992. Jakarta: Rineka
Cipta.
0 comments:
Post a Comment