Konstruktivisme


 
A. Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan satu diantara faham yang menyatakan bahwa positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang salah dalam mengungkapkan realitas dunia. Karena itu, perangkat berfikir kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat konstruktif. Paradigma ini, muncul melalui proses yang cukup lama setelah sekian generasi ilmuwan berpegang teguh pada paradigm positivisme. Konstruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan menolak tiga prinsip dasar positifime :[1]
1.   Ilmu merupakan upaya mengungkap realitas,
2.    Hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan,
3.   Hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu dan tempat yang berbeda.
Pada awal perkembangannya, paradigma ini mengembangkan sejumlah indikator sebagai pijakan dalam melaksanakan penelitian dan pngembangan ilmu. Beberapa indikator itu antara lain:[2]
1.   Penggunaan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data dan kegiatan analisis data,
2.   Mencari relevansi indikator kualitas untuk mncari data- data lapangan,
3.   teori- teori yang dikembangkan harus bersifat natural atau apa adanya dalam pengamatan dan menghindarkan diri dengan kegiatan penelitian yang telah diatur dan bersifat serta berorientasi laboratorium,
4.    Pola- pola yang diteliti dan berisi kategori- kategori jawaban menjadi unit analisis dari variable- variable penelitia yang kaku dan steril,
5.    Penelitian lebih bersifat partisipatif daripada mengontrol sumber- sumber informasi, dll.
Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dilektis. Karena itu, paham ini menganut prinsip relatifitas dalam memandang suatu fenomena alam atau sosial. Jika tujuan penemuan ilmu dalam positivisme adalah untuk membuat generalisasi terhadap fenomena alam lainnya, maka konstruktivisme lebih cenderung menciptakan ilmu yang diekspresikan dalam bentuk pola teori, jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, local dan spesifik. Dengan pernyataan lain, bahwa realitas itu merupakan konstruksi mental berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Karena itu suatu realitas yang diamati seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti yang biasa dilakukan kalangan positivis atau postpositivis. Sejalan dengan iu, secara filosofis hubungan epistimologis antara pengamatan dan objek, menurut aliran bersifat suatu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantara keduanya. Sementara secara metodologis, paham ini secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan di luar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya atau natural untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak penelitian. Dengan seting natural ini, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode kualitatif daripada kuantitatif.
Suatu teori muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya, dalam bentuk hipotesis bagaimana dalam penelitian kuantitatif. Untuk itu pengumpulan data, dilakukan dengan metode hermeneutik dan dialektik yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Metode pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang perorang, sedangkan metode kedua mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang perorang yang diperoleh melalui metode pertama untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat reflektif, subjektif dan spesifik mengenai hal- hal tertentu.
Dengan ditemukannya paradigma konstruktivisme ini, dapat memberikan alternatif paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus menandai terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan menentukan aturan- aturan ke model rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan interpretasi mental. Konstruktivisme dapat melihat warna dan corak yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu- ilmu sosial yang memerlukan intensitas interaksi antara penelitian dan objek yang dicermati, sehingga akan berpengaruh pada nilai- nilai yang dianut, etika, akumulasi pengetahuan, model pengetahuan dan diskusi ilmiah.
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang mempunyai anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi manusia itu sendiri. Manusia mengkonstruksikan  pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan struktur, kategori, objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Pengetahuan dianggap benar jika pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang tengah dihadapi
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat di transfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpresentasikan sendiri oleh orang tersebut. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, tetapi merupkan suatu proses yang akan berkembang terus-menerus. Proses itulah yang merupakan keaktifan dan kesungguhan seseorang, hal tersebut sangat berperan dalam mengejar ilmu.
Asal-usul konstruktivisme menurut Von Glasersfeld, yaitu pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, dia adalah epistemology dari Italia. Dia adalah cikal bakal konstruktivisme.[3]
Pada tahun 1970 Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya, dia berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar.

B. Teori Kritis
Pertama kali istilah teori kritis dicetuskan oleh Max Horkheimer pada tahun 30-an. Teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.[4]Teori kritis merupakan sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan Aristoteles, Foucault, Gadamer, Hegel, Marx, Kant, Wittgenstein  di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas.[5] Dalam pengertian umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt.
Teori  kritis bertujuan menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menerapkan metode reflektif dengan cara mengkritik secara berkelanjutan terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada dan tidak kondusif untuk pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Ciri khas Teori Kritis berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pada intinya pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Pada titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris, dan  tidak hanya menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tetapi teori tersebut juga mengubah.
Esensi  Teori Kritis pada dasarnya adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik. Perkembangan sifat politis pengetahuan ini dipengaruhi oleh tiga pemikiran yang berbeda, antara lain:
1.     Immanuel Kant
Pemikiran Kant lebih kepada keterbatasan pengetahuan, yaitu bahwa manusia tidak dapat memahami dunia secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja (parsial).
  1. Hegel dan Mark
Hegel dan Marx memiliki pemikiran bahwa teori dan pembentukan teori tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Ilmuwan harus melakukan refleksi terhadap teori atau proses pembentukan teori tersebut.
  1. Max Horkheimer
Max  Horkheimer dilahirkan di kota Stuttgart pada tanggal 14 Februari 1895. Ia meninggal di kota Nuremberg pada tanggal 7 Juli 1973 pada usia 78 tahun. Max Horkheimer merupakan putra dari Moriz Hokheimer yang berkebangsaan Yahudi. Ia dididik dengan ketat dan otoriter supaya dapat meneruskan usaha perusahaan tenun ayahnya. tapi pada akhirnya Horkheimer menginggalkan perusahaan tenun ayahnya karena ia dilarang menikahi Rose Christine Rieckher, sekretaris ayahnya, yang berusia sembilan tahun lebih tua. Setelah itu, ia berkenalan dengan filsafat dan belajar bahasa Perancis lewat buku yang berjudul Aphorisme on The Wisdom of Life.[3] Buku inilah yang akan memengaruhi pemikirannya yang pesimistis terhadap rasionalisme yang mengajarkan kehendak buta manusia yang mengakibatkan tragedi manusia itu sendiri.[6]
Horkheimer merupakan salah satu filsuf Jerman yang menjadi salah satu filsuf generasi pertama dari Mazhab Frankfurt. Horkheimer merupakan keturunan dari kaum Yahudi dan pandangan Horkheimer tentang Allah berpengaruh dalam perkembangan tradisi Yahudi.[7]
Horkheimer lulus pada tahun 1923 dengan disertasi tentang Immanuel Kant. Tiga tahun kemudian ia dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Frankfurt dan semakin mendalami filsafat Kant dan Hegel.[8] Setelah Perang Dunia I, perubahan peta politik menjadikan Revolusi Bolshevik sukses di Rusia, sehingga banyak cendikiawan Jerman yang beraliran kiri bergabung dengan Sekolah Frankfurt yang beraliran Marxisme. Dari sinilah Horkheimer berupaya untuk menyatakan kritiknya terhadap rakyat yang dicekam oleh kemajuan dalam kebebasan individunya.

Horkheimer diangkat sebagai direktur baru Sekolah Frankfurt pada bulan Januari 1931, dia memulai pidato tentang filsafat sosial sebagai "interpretasi filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan dipandang sebagai individu, tetap sebagai anggota (masyarakat) Jadi, obyek filsafat sosial sekarang adalah semua kelembagaan yang bersifat material dan spiritual dari kemanusiaan secara menyeluruh", filsafat tidak memaksa nilai filosofis manusia dalam pengangguran, keterasingan dan penindasan yang dilakukan oleh kelas penguasa. Dia memakai pandangan Karl Marx dalam anggapan bahwa kejiwaan manusia, kepribadian juga hukum, kesenian, filsafat hanya sebagai  cermin dari bidang ekonomi, dan bukan dengan vulgar memakai sumbangan Hegel tentang kendali Roh, namun pada dialektika antara realitas material dan mental. Dalam pikiran yang bergerak di bidang ideologi inilah, ideologi dipandang sangat berperan dalam ikut mengacaukan kenyataan sosial. Dua hal yang menjadi perhatian teori kemasayarakatan Horkheimer adalah bidang sosiolgi politik dan kebudayaan. Munculnya Sekolah Frankfurt diiringi dengan suburnya kapitalisme monopolis di Eropa. Sekolah Frankfurt dan juga Horkheimer memandang kapitalisme monopolis sebagai suatu tahap kapitalisme di mana usaha-usaha raksasa menguasai pasar, mengatur dan menentukan harga, sementara perusahaan-perusahaan kecil dengan serta mereta digulungnya. Hal ini cenderung menghapuskan pasar dan dinamika persaingan bebas. Inilah zaman keemasan Sekolah Frankfurt, namun pada tahun 1933 yang beranggotakan kebanyakan orang-orang Yahudi bermigrasi ke Amerika karena tekanan Nazisme. Setelah berimigrasi ke Amerika, sekolah Frankfurt berafiliasi dengan Universitas Columbia. dengan berimigrasinya ke Amerika semakin membuat keprihatinan besar Horkheimer terhadap masyarakat kapitalisme,hal ini menyebabkan para ahli dari Frankfurt sangat pesimis  pada tahun 1940, karena individu semakin terbelenggu oleh sistem. Pemikirannya menjadi pesimis dengan ketidak mungkinan pembebasan dijalankan dalam masyarakat modern, Horkheimer  berubah menjadi sangat spekulatif dan refleksif yang akhirnya memilih agar filsafat diam karena ketidakmampuannya mendorong perubahan.
Pada tahun 1950 Horkheimer kembali ke Jerman dan menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa radikal dalam SDS (sizialisticher Deustscher Studentenbund), namun Horkheimer tidak setuju dengan gerakan itu karena memakai sistem kekerasan dalam melakukan aksi demonstrasi. Tetapi Horkheimer justru ditolak oleh para mahasiswa, bahkan dimusuhi hingga mengalami trauma. Pada akhirnya dia menjadi seorang yang religius, sebab menurutnya kebenaran tidak mungkin ada tanpa adanya Allah. Hal ini memengaruhi warna dari Sekolah Frankfurt juga, yang tadinya optimis menjadi pesimis terhadap perubahan masyarakat.
Pemikiran Horkheimer  membedakan teori ke dalam dua kategori, yakni tradisional dan kritis. Teori tradisional menganggap adanya pemisahan antara teoretisi dan obyek kajiannya. Artinya, teori tradisional berangkat dari asumsi mengenai keberadaan realitas yang berada di luar pengamat, sedangkan teori kritis menolak asumsi pemisahan antara subyek-obyek dan berargumen bahwa teori selalu memiliki dan melayani tujuan atau fungsi tertentu.
Teori kritis dalam hubungan internasional tidak terbatas pada suatu pengujian negara dan sistem negara tetapi memfokuskan lebih luas pada kekuatan dan dominasi di dunia secara umum.[9] Teori kritis mencari pengetahuan untuk tujuan politi yaitu untuk membebaskan kemanusiaan dari struktur politik ekonomi dan dunia yang menekan dan dikendalikan oleh Amerika Serikat. Mereka berupaya untuk mendobrak dominasi global negara-negara kaya di belahan bumi Utara atas negara-negara miskin di belahan dunia Selatan.[10]
Teori kritis pada dasarnya dipengaruhi oleh dua pemikiran, yaitu:
1.     Teori kritis Frankfurt School, yang sumber-sumber pemikirannya bisa diketahui dari pemikiran-pemikiran Habermas, Adorno, dan Max Horkheimer, serta didukung oleh pemikir-pemikir lain seperti Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Eric Fromm, Albrecht Wellmer, Karl-Otto Apel, dan Axel Honneth, yaitu sekelompok orang yang kemudian dikenal sebagai anggota Mazhab Frankfurt dan merupakan teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut penelitian ini pada akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat karena tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu, produksi media hiburan dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini menyebabkan adanya budaya massa komersial  yang merupakan ciri masyarakat kapitalis  kemudian, menjadi fokus studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.
a.     Adorno
Adorno bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan di Frankfurt pada tahun 1903. Dia adalah seorang filosof, komposer, penulis essay, dan teoritisi sosial.
Adorno tidak sependapat dengan filsafat sistematis dan meragukan apakah pemikiran yang sebenarnya dapat transparan. Hal ini berasal dari keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis dan pemikiran metodologis memiliki kecenderungan untuk sampai pada kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi asumsi yang terkandung dalam premis-premisnya. Adorno adalah pemikir anti-Hegel dan, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap posisi filosofis Hegel yang bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual muncul dari kebutuhan terhadap adaptasi dan selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya.
Dalam karya Adorno dengan Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha memberikan analisis konseptual tentang bagaimana memberi suatu Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan untuk mengamankan kebebasan dari ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk dominasi politik, sosial, dan budaya dimana manusia dapat kehilangan individualitas dan masyarakat dapat kehilangan makna kemanusiaan.[11]
Dalam buku tersebut, Adorno dan Horkheimer juga menyatakan bahwa usaha untuk mencapai nalar pencerahan dan kebebasan ternyata berdampak pada munculnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pasca perang dunia, Adorno mengembangkan cara berpikir yang disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada teologi.

b.     Jurgen Habermes
Jurgen Habermas dilahirkan pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf. Belajar di universitas Gottingen dan Zurich, Habermas meraih gelar doktor di bidang filsafat dari universitas Bonn pada tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang absolut dan sejarah: tentang kontradiksi dalam pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat dan sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut Penelitian Sosial Frankfurt.
Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep nalar yang lebih komprehensif, yakni nalar yang tidak terkurangi dengan instrumen teknis dari subjek individu, dalam pengertian filosofi, yang memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempunyai anggapan dasar mengenai keberadaan tiga kepentingan manusia yang berakar. Tiga kepentingan ini adalah: teknis (technical), praktis (practical), dan emansipatoris (emancipatory).[12]
Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini adalah kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; dalam memahami orang lain; dan dalam membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi.
2.     Karya dan pemikiran Antonio Gramsci.

a.     Karya-karyanya

Gramsci selama hidupnya dikenal sebagai penulis sekaligus teori kritis. Termasuk pemikirannya mengenai teori Marxis, teori kritis dan teori lain mengenai pendidikan. Berdasarkan masa hidupnya karya Gramsci  terbagi menjadi dua, yaitu masa sebelum penjara pada tahun 1910-1926 dan masa selama penjara pada tahun 1929-1935.
Dibawah ini beberapa judul artikel atau buku pada masa sebelum penjara (beberapa judul yang telah diterjemahkan):[13]
1)     1916 Men or machine? (Avanti!, 22 Desember), Notes on The Rusiian Revolution (Grido del Popolo, 29 April), The Revolutin Against ‘Capital’ (Avanti!, 24 Desember).
2)     1920 Split or Disorder? (L’Ordine Nuovo, December 11-18).
3)     1921 Caporetto and Vittorio Veneto (L'Ordine Nuovo, 28 January), War is war (L'Ordine Nuovo, 31 January), The general confederation of labour (L'Ordine Nuovo, 25 February), Socialists and communists (L'Ordine Nuovo, 12 March).
4)     1924 Gramsci to Togliatti, Scoccimarro, Leonetti, etc. (21 March 1924), The Como Conference: Resolutions, The Italian Crisis, Neither Fascism nor Liberalism: Sovietism!.
5)     1926 Once again on the organic capacities of the working class (L'Unità, 1 October 1926), The peasants and the dictatorship of the proletariat (L'Unità, 17 September 1926), We and the Republican Concentration (L'Unità, 13 October 1926).
Sebagian besar karya-karya Gramsci dikumpulkan dan disusun kembali kemudian dipublikasikan sampai sekarang, salah satunya buku yang berjudul An Introduction to Gramsci’s Life and Thought oleh Frank Rosengarten. Atau website resmi pengikut Marxist dan Gramsci sendiri.

b.     Pemikiran

Gramsci dipandang banyak pihak sebagai filosof Marxis paling berpengaruh pada abad ke-20, khususnya dalam perkembangan Marxisme Barat. Ia menulis lebih dari 30 buku catatan dan 3000 halaman sejarah dan analisis selama di penjara. Tulisan-tulisan ini kemudian dikenal luas sebagai Buku Catatan Penjara (Prison Notebooks) yang berisi penelusuran Gramsci terhadap sejarah dan nasionalisme Italia, selain pemikiran mengenai teori Marxis, teori kritis dan teori pendidikan yang berkaitan dengan dirinya, seperti:[14]
1)     Hegemoni Budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara kapitalis
2)     Pentingnya pendidikan buruh populer untuk mendorong perkembangan intelektual dari kelas pekerja
3)     Pemisahan antara masyarakat politis (polisi, tentara, sistem legal, dsb) yang mendominasi secara langsung dan koersif, dan masyarakat sipil (keluarga, sistem pendidikan, serikat perdagangan, dsb) di mana kepemimpinan dikonstitusionalisasi melalui ideologi
4)     'Historisisme Absolut'
5)     Kritik determinisme ekonomi
6)     Kritik materialisme filosofis

Kedua pemikiran diatas  mendorong perkembangan teori kritis dalam studi hubungan internasional yang bukan hanya membawa orientasi intelektual yang berbeda, akan tetapi cenderung eksklusif satu sama lain, dalam artian bahwa masing-masing tidak mengacu pada sumber-sumber intelektual teori kritis yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Jackson, Robert & Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Markus “Filsafat Konstruktivisme”, diakses pada 18 April 2012 dari http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html

Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu .Yogyakarta: Belukar

Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya

Robbani, Teori Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 dari http://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/

(Indonesia). 1982. Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia

Tjahjadi, Simon Petrus L. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.

Wikipedia bahasa Indonesia “Antonio Gramsci”, diakses pada 25 April 2012 dari  http://id.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci
Ravert Jerome R. diterjemahkanoleh saut pasaribu. 2009.The Philosophy of Science/Filsafat Ilmu. Yogya: pusaka pelajar





[1] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 34.
[2] Filsafat Ilmu.Jerome R. Ravert diterjemahkanoleh saut pasaribu,judul aslinya The Philosophy of Science.pusaka pelajar yogya, 2009. Hal. 128
[3] Markus “Filsafat Konstruktivisme”, diakses pada 18 April 2012 dari http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html
[4] Robbani, Teori Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 dari http://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/
[5] Robbani, Teori Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 dari http://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/
[6]  (Indonesia) Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia, 1982
[7] Simon Petrus L. Tjahjadi. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 102-114.
[8] (Indonesia) Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia, 1982
[9] .Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 104.

[10] Robert Jackson & Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.300

[11]  Robbani, Teori Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 dari http://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/
[12] Robbani, Teori Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 dari http://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/

[13] Wikipedia bahasa Indonesia “Antonio Gramsci”, diakses pada 25 April 2012 dari  http://id.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci

[14] Ibid 7

0 comments:

Post a Comment