A. Pengertian Ilmu
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas. pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu.
Wikipedia Indonesia, Ilmu adalah seluruh
usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya,
dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Contoh: Ilmu Alam hanya
bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi kedalam hal yang bahani
(materiil saja) atau ilmu psikologihanya bisa meramalkan perilaku manusia jika membatasi
lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit.[1]
B. Ilmu sebagai Proses
Ilmu
secara nyata dan khas adalah suatu aktivitas manusiawi, yakni perbuatan
melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya satu aktivitas
tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah
proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan teleologis.
1. Rasional
Aktivitas rasional berarti kegiatan
yang mempergunakan kemampuan pikiran untuk menalar yang berbeda dengan
aktivitas berdasarkan perasaan dan naluri. Ilmu menampakkan diri sebagai
kegiatan penalaran logis dari pengamatan empiris.
Penalaran merupakan suatu proses
berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada
hakikatnya merupakan makhluk yang berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak.
Sikap dan tindakannya bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan
merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan
berpikir bukan dengan perasaan, meskipun seperti itu dikatakan Pascal, hati pun
mempunyai logika tersendiri. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak
semua kegiatan berfikir menyandarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran
merupakan kegiatan berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam
menemukan kebenaran.
Berpangkal pada hasrat kognitif dan
kebutuhan intelektualnya, manusia melakukan rangkaian pemikiran dan kegiatan
rasional dengan lingkungan atau masyarakat yang kemudian melahirkan ilmu.
2. Kognitif
Pada dasarnya ilmu adalah sebuah
proses yang bersifat kognitif, bertalian dengan proses mengetahui dan pengetahuan.
Proses kognitif (cognition) adalah suatu rangkaian aktivitas seperti
pengenalan, penyerapan, pengkonsepsian, dan penalaran (antara lain) yang
dengannya manusia dapat mengetahui dan memperoleh pengetahuan tentang suatu
hal.
Menurut Piaget menyatakan bahwa di dalam diri individu terjadi adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Menurut Piaget menyatakan bahwa di dalam diri individu terjadi adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
a.
Asimilasi
Asimilasi
adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya; proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada.
Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi
pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang
sudah ada sebelumnya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang
menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema
yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan
menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata.
Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label “burung”
adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
b.
Akomodasi
Akomodasi,
dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman
yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada.
Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk
membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi
skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi
merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses
asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka
terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium).
Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah
akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya
struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus
tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium).
Tetapi bila terjadi keseimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang
lebih tinggi daripada sebelumnya.
Akomodasi
adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema
akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada.
Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali.
Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung
sebelum memberinya label “burung” adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada
skema burung pada fikiran si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.
Dengan
demikian, kognitif seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari
luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi
pengetahuannya.
3. Teleologis
Ilmu selain merupakan sebuah proses
yang bersifat rasional dan kognitif, juga bercorak teleologis, yakni mengarah
pada tujuan tertentu karena para ilmuwan dalam melakukan aktivitas ilmiah
mempunyai tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Ilmu melayani sesuatu tujuan
tertentu yang diinginkan oleh setiap ilmuwan. Dengan demikian, ilmu adalah
aktivitas manusiawi yang bertujuan. Tujuan ilmu itu dapat bermacam-macam sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh masing-masing ilmuwan.[2]
C. Ilmu sebagai Prosedur
The Liang Gie memberikan pengertian ilmu sebagai aktivitas
penelitian perlu diurai lebih lanjut agar dapat dipahami berbagai unsur dan
cirinya yang lengkap. Penelitaian sebagai suatu rangkaian aktifitas mengandung
prosedur tertentu, yakni serangkaian cara dan langkah tertib yang mewujudkan
pola tetap. Rangkaian cara dan pola ini dalam dunia keilmuan disebut metode,
untuk menegaskan bidang keilmuan itu seringkali dipakai istilah “metode
ilmiah”. Jadi, Ilmu sebagai prosedur atau ilmu sebagai metode ilmiah merupakan
prosedur yang mencakup pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknik untuk
memperoleh kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, bisa dikatakan ilmu sebagai
prosedur berarti ilmu merupakan kegiatan penelitian yang menggunakan metode
ilmiah.
Menurut
The World of Science Encyclopedia, metode ilmiah ialah prosedur yang digunakan
oleh ilmuwan dalam mencari secara sistematis pengetahuan baru dan peninjauan
kembali pengetahuan yang ada. Dari berbagai definisi yang pernah dikemukakan,
dapat disimpulkan bahwa metode ilmiah pada umumnya menyangkut empat hal yakni:
pola prosedural, tata langkah, teknik-teknik, dan alat-alat.
Menurut Stanlay dan Thomas C. Hunt menjelaskan bahwa metode dalam mencari pengetahuan ada tiga
1.
Rasionalisme
Plato
memberikan gambaran klasik dari rasionalisme. Dia berdalil bahwa untuk
mempelajari sesuatu, seorang harus menemukan kebenaran yang sebelumnya belum
diketahui. Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada
dalam pikiran manusia. Pengalaman indra paling banyak hanya merangsang ingatan
dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah ada dalam
pikiran. Menurut Plato kenyataan dasar terdiri dari ide atau
prinsip.
Sedangkan menurut Descrates, dia menganggap bahwa pengetahuan memang
dihasilkan oleh indra, tetapi karena dia mengakui bahwa indra itu bisa
menyesatkan (seperti dalam mimpi dan hayalan), maka dia terpaksa mengambil
kesimpulan bahwa data keindraan tidak dapat diandalkan
Dari penjelasan
di atas terdapat beberapa kritik yang ditujukan pada kaum rasionalisme.
Diantaranya adalah:
a.
Pengetahuan
rasional dibentuk oleh yang tidak dapat dilihat maupun diraba. Sehingga
eksistensi tentang idea yang bersifat sudah pasti maupun bawaan itu sendiri
belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang
sama.
b.
Banyak
diantara manusia yang berpikiran jauh merasa bahwa mereka menemukan kesukaran
yang besar dalam menerapkan konsep rasional kepada masalah kehidupan yang
praktis.
c.
Teori
rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia
selama ini.
2.
Empirisme
Jika kita
sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia
berkata “tunjukkan hal itu kepada saya“. Dalam persoalan mengenai fakta maka
dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri.
Orang-orang
empiris berpendapat bahwa kita dilahirkan tidak mengetahui sesuatupun. Apapun
yang kita ketahui itu berasal dari kelima panca indra kita. John Locke bapak
empirisme mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan
sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan
itulah di catat pengalaman-pengalaman indrawi. Sehingga ia memandang akal
sebagai jenis tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil
pengindraan tersebut. Sehingga bisa dikatan bahwa kelompok empiris
melihat bahwa pemahaman manusia hanya terbatas pada pengalamannya.
Empirisme juga mendapatkan kritik, yang antara
lain:
a.
Empirisme
didasarkan kepada pengalaman. Namun, jika dianalisis secara kritis maka
“pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi
sebuah teori yang sistemis.
b.
Sebuah
teori yang sangat menitikberatkan pada persepsi panca indra yang kiranya
melupakan kenyataan bahwa panca indra manusia adalah terbatas dan tidak
sempurna. Panca indra kita sering menyesatkan. Empirisme tidak mempunyai
perlengkapan untuk membedakan antara hayalan dan fakta.
c.
Empirisme
tidak memeberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin,
dalam pengertian di atas, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya
diragukan.
3.
Keilmuan
Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode
induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan, di jelaskan bahwa empirisme merupakan
epistemology yang telah mencoba menjadikan alat indra berperan dalam pengamatan
untuk memperoleh keterangan tentang pengetahuan ilmiah. Memang terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian yang populer ini,
karena ilmuan mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu, melakukan pengamatan dan
mempergunakan data indrawi. Walaupun demikian analisis yang mendalam
terhadap metode keilmuan akan menyingkap kenyataan, bahwa apa yang dilakukan
oleh ilmuan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai
suatu kombinasi antara prosedur empiris dan rasional. Secara sederhana, dapat
dikatakan bahwa metode keilmuan adalah satu cara dalam memperoleh pengetahuan. Dengan
demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir
deduktif dengan induktif yang merupakan pertemuan antara empirisme dan
rasionalisme.
Hal ini
dilakukan para ahli filsafat untuk membedakan antara mana pengetahuan yang
dianggap ilmiah dan mana yang bukan. Sehingga munculah metode ilmiah, sebagai
jawabannya. Disiplin yang menerapkan karakteristik ilmiah akan menghasilkan
pengetahuan ilmiah, sehingga yang tidak menerapkan metode ilmiah ini,
pengetahuannya bisa dianggap bukan merupakan pengetahuan ilmiah.
Metode ini juga masih mendapatkan kritik, yang
antara lain:
a.
Metode
keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketaui manusia,
yang hanya berkisar pada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan
teknik keilmuan.
b.
Ilmu
memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kejadian. Tiap
tafsiran bisa saja benar sejauh apa yang dikemukakan. Berbagai hipotesis bisa
saja diajukan, sehingga kesatuan dan konsistensi dari pengetahuan keilmuan
ternyata tidak sejelas apa yang kita duga.
c.
Pengetahuan
keilmuan, meskipun sangat tepat, tidaklah berarti bahwa hal ini merupakan
keharusan. Karena pengetahuan keilmuan hanyalah pengetahuan yang mungkin dan
secara tetap harus terus menerus berubah. karena ilmu menyadari bahwa dia tidak
mampu untuk menyediakan pengetahuan yang pasti dan lengkap, yang tidak
terjangkau oleh kegiatan keilmuan.[3]
D. Ilmu sebagai Produk
Dilihat dari
tipe dan jenisnya, Ilmu itu sendiri dibagi menjadi tiga: Pertama, ilmu sebagai
inti dalam kehidupan sosial. Biasanya ilmu tipe demikian dikendalikan oleh elit
sosial yang memandang bahwa tradisi masyarakat sebagai standar kebenaran.
Konsekwensinya adalah dogmatisasi ilmu akibat kebenaran yang serba normatif.
Kedua, ilmu sebagai proses. Dalam konteks ini kebenaran sebagai main goal
dari ilmu pengetahuan dijadikan sebagai bahan antara, dimana kebenaran akhirnya
terus diverifikasi melalui berbagai penelitian dan eksperimen. Ketiga, ilmu
sebagai produk. Hal ini masih berkaitan dengan ilmu tipe kedua. Beragam
penelitian tentang satu hal yang kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan akhir
setelah dilakukan pengujian adalah sebuah produk dari pencarian kebenaran yang
kita kenal sebagai ilmu.
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan sistematis
yang merupakan produk dari aktivitas penelitian dengan metode ilmiah/ sebagai
sistem pengetahuan, ilmu mempunyai obyek material dan obyek formal. Obyek
material sering disebut pokok soal (subject matter), sedangkan obyek
material dinamakan titik perhatian (focus of interest) atau sikap
pikiran (attitude of mind). Lebih lazim, obyek formal dinamakan sudut
pandang. Sebagai sistem pengetahuan atau pengetahuan sistematis, ilmu memiliki
ciri- ciri empiris, sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif. Ciri
empiris mengandaikan pengamatan (observasi) atau percobaan (eksperimen).
Ilmu berbeda dari pengetahuan karena ciri sistematis, dan berbeda dari filsafat
karena ciri empirisnya. Ciri sistematis berarti bahwa kumpulan
pengetahuan-pengetahuan itu memiliki hubungan-hubungan ketergantungan dan
teratur. Ciri obyektif ilmu berarti bahwa pengetahuan ilmiah bebas dari
rasangka perseorangan (personal bias) dan pamrih pribadi. ilmu arus berisi data
yang menggambarkan secara tepat gejala-gejala. ilmu berciri analitis artinya
ilmu melakukan pemilahan-pemilahan atas pokok soal ke dalam bagian-bagian untuk
mengetahui sifat dan hubungan bagian-bagian tersebut. Ciri verifikatif ilmu
berarti bahwa tujuan yang ingin dicapai ilmu ialah kebenaran ilmiah. Kebenaran
ini dapat berupa kaidah-kaidah atau azas-azas yang universal. Dengan demikian,
manusia dapat membuat ramalan dan menguasai alam.
Sebagai produk dari usaha berfikir ilmiah,
ilmu pengetahuan sudah pasti berlandaskan pada landasan yang jelas.
Obyektivitas yang tertuju kepada kebenaran merupakan landasan tetap yang
menjadi pola dasar ilmu pengetahuan itu tanpa mengesampingkan nilai-nilai hidup
kemanusiaan. Sebab, nilai-nilai kemanusiaan adalah dasar, latar belakang dan
tujuan dari kegiatan keilmuan. Dalam artian bahwa ilmu pengetahuan itu sama
sekali tidak bebas nilai dan tetap mempertimbangkan terpeliharanya nilai-nilai
kemanusiaan.
Terdapat perbedaan di kalangan para ilmuwan
mengenai hubungan antara ilmu dengan nilai-nilai. Di satu sisi, sebagian
berpendapat bahwa ilmu adalah bebas nilai dengan satu pertimbangan bahwa kebenaran
menjadi satu-satunya ukuran dalam kegiatan ilmiah. Sebagian yang lain
mengatakan bahwa pertimbangan nilai etika, kesusilaan dan kegunaan
untuk melengkapi nilai kebenaran ilmu sangat perlu dimasukkan ke dalam landasan
ilmu, dengan kata lain ilmu taut nilai atau tidak bebas nilai.
SIMPULAN
Ilmu hanya
terdapat dan dimulai dari aktivitas manusia, sebab hanya manusia yang memiliki
kemampuan rasional dalam melakukan aktivitas kognitif yang menyangkut
pengetahuan, dan selalu mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu.
Dalam wujudnya
ilmu dibagi ke dalam tiga bagian yaitu ilmu sebagai proses, prosedur, dan
produk. Ilmu sebagai proses memiliki arti suatu aktivitas manusia, yakni
perbuatan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia, dan ilmu itu sendiri
terdiri dari satu atau rangkaian aktivitas yang merupakan sebuah proses yang
bersifat rasional, kognitif, dan teleologis. Sedangkan Ilmu sebagai prosedur
atau ilmu sebagai metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup pikiran, pola
kerja, tata langkah, dan cara teknik untuk memperoleh kebenaran ilmiah.
Terakhir yaitu ilmu sebagai produk bermakna pengetahuan ilmiah yg kebenarannya
dapat diuji secara ilmiah, yg mencakup Jenis-jenis sasaran; bentuk-bentuk
pernyataan; Ragam-ragam proposisi; ciri-ciri pokok; Pembagian secara
sistematis.
DAFTAR PUSTAKA
Alleicya. lmu sebagai prosedur, (online), http://alleicya.blogspot.com/2010/11/filsafat-ilmu-ilmu-sebagai-prosedur.html
artikel diakses pada 6 April 2012
Kartika. Pengertian Ilmu, (online), http://kartika-s-n-fisip08.web.unair.ac.id/artikel_detail-37181-hardskill%20-PENGERTIAN%20PENGETAHUAN,%20ILMU,%20DAN%20ILMU%20PENGETAHUAN.html
Artikel diakses pada 6 April 2012
Putera, Ardiansyah. Ilmu sebagai Proses dan Produk, (online), http://ardiansyahputera.wordpress.com/2010/11/07/ilmu-sebagai-proses-dan-produk/
Artikel diakses pada 6 April 2012
[1]Kartika,
“ Pengertian Ilmu” Artikel diakses pada 6 April 2012 dari http://kartika-s-n-fisip08.web.unair.ac.id/artikel_detail-37181-hardskill%20-PENGERTIAN%20PENGETAHUAN,%20ILMU,%20DAN%20ILMU%20PENGETAHUAN.html
[2]Ardiansyah
Putera, “Ilmu sebagai Proses dan Produk” Artikel diakses pada 6 April 2012 dari
http://ardiansyahputera.wordpress.com/2010/11/07/ilmu-sebagai-proses-dan-produk/
[3] Alleicya,
“Ilmu sebagai prosedur” artikel diakses pada 6 April 2012 dari http://alleicya.blogspot.com/2010/11/filsafat-ilmu-ilmu-sebagai-prosedur.html
0 comments:
Post a Comment