Waiting for Godot (Menunggu Godot); Samuel Beckett

Samuel Becket (1906-1989), penulis lakon terkenal En Attendant Godot atau Menunggu Godot, adalah pemenang hadiah Nobel Sastra dari Akademi Swedia. Ia seorang pengarang Irlandia yang menulis dalam bahasa Perancis, namun kadang-kadang juga dalam bahasa Inggris.
Tatkala diumumkan sebagai pemenang hadiah Nobel Sastra pada 23 Oktober 1969, Samuel Becket berusia 63 tahun. Menurut Akademi Swedia hadiah itu dianugerahkan kepadanya, lantaran karya-karyanya yang berbentuk baru diusahakan untuk mengangkat derajat manusia dari kedudukannya yang serba sulit.

Tidak berdaya, dihinggapi kegetiran hidup, terasing dari lingkungan sosialnya dan dalam keadaan nyaris putus asa, demikianlah jika kita menyaksikan aktor-aktor yang digambarkan oleh Samuel Becket di dalam En Attendent Godot, yang diterjemahkan sendiri dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Inggris menjadi Waiting for Godot (Menunggu Godot). Karya yang sedang kita kupas ini tidak seberapa tebal dalam bentuk buku. Namun demikian, dalam pertunjukan-pertunjukan awalnya, lakon Menunggu Godot ini telah menggemparkan masyarakat.

Tahukah pembaca, buku Waiting for Godot yang kali pertama diterbitkan pada 1952 oleh penerbit “Grove Press“, pada tahun pertama hanya laku terjual kurang lebih 400 eksemplar. Itupun sebagian besar diborong oleh Beckett sendiri sebagai hadiah kepada teman-temannya. Barney Rosset, pemilik “Grove Press“, sedari awal ogah-ogahan memenuhi permintaan Beckett agar buku tersebut dicetak ribuan eksemplar. Sebab, ia berpikiran bahwa proyek penerbitan buku itu akan gagal total.

Nyatanya, pementasan drama Menunggu Godot menuai sukses di mana-mana. Mendapat sambutan menghebohkan dari khalayak, dan lebih-lebih liputan luas dari media massa dengan segala pro dan kontranya. Setarikan nafas dengan itu, dampak berikutnya mulailah khalayak luas yang penasaran berbondong-bondong membeli buku Menunggu Godot. Hanya dalam waktu singkat, sebagaimana ditulis Zuma World, barulah Barney Rosset menyadari bahwa ia telah menjual lebih dari 2 juta eksemplar buku!. 
***

Lakon Menunggu Godot, diakui atau tidak merupakan lakon paling aneh menurut bentuk, maupun isi. Kisahnya mengenai dua orang gelandangan yang menunggu Godot, akan tetapi tak kunjung tiba, dilukiskan dalam dua babak. Gelandangan pertama bernama Estragon, dan yang kedua Vladimir. Lantaran ketegangan yang terus-menerus, maka terdapat plot, yang menimbulkan rasa ingin tahu di hati pembaca atau penonton tentang apa yang akan terjadi. Namun seperti telah dikatakan, Godot tak juga muncul, sehingga mengandung kesimpulan, kisah berakhir seperti semula. Dapatlah dikatakan pula, lakon itu tidak mempunyai ujung pangkal.

Menurut sastrawan Aoh K. Hadimadja dalam buku tipis Seni Mengarang terbitan Pustaka Jaya, salah salah teknik yang digunakan Samuel Beckett dalam menimbulkan pertentangan itu, adalah membiarkan panggung acapkali sepi. Jadi pelaku-pelaku semuanya terdiam di atas panggung untuk beberapa detik. Akan tetapi yang tampak menjadi kuat-tegang itu, lantaran isinya juga tegang.

Kita dapat membandingkan lakon Menunggu Godot itu dengan menunggu bis atau apa saja yang ditunggu, namun yang ditunggu itui tak kunjung muncul. Maka orang yang menunggu menjadi gelisah. Berjalan hilir-mudik dan berbicara dengan diri sendiri. Kegelisahan itu menimbulkan ketegangan, akan tetapi dalam waktu itu sesungguhnya tidak ada yang dikerjakan, hanya pikiran saja yang bersimpang siur.
 
Hal di atas akan lebih dramatis, apabila kita bayangkan yang menunggu itu duduk saja, tetapi jantung berdegup memukul-mukul, “Kapan datang, kapan datang?” Sebab Godot diharapkan mendatangkan kebahagiaan, memberikan tempat tinggal yang menyenangkan dan makanan cukup lezat kepada dua gelandangan itu yang tidur di bawah langit tanpa selimut dan makan pun hanya sepotong bagi berdua.
  
Di samping dua orang gelandangan yang telah disebutkan di atas, terdapat seorang majikan, Pozzo si tuan tanah yang kejam bersama seorang budaknya bernama Lucky. Si budak lehernya diikat dengan seutas tali. Kemudian seorang suruhan Godot, yang dalam kedua babaknya mengatakan, majikannya akan datang hari esoknya, akan tetapi Godot tak jua muncul. Jadi pelakunya hanya 5 orang, tanpa ada seorang perempuan pun.

Tatkala tirai diangkat terlihatlah tanah tandus, hanya sebuah jalan desa melingkar dan sebuah pohon kering di tepinya. Kedua orang gelandangan itu,Estragon dan Vladimir tampak di bawah sebatang pohon, yang cuma berdaun 5 lembar. Estragon sedang membuka-buka sepatunya, tetapi tidak juga terlepas. Tingkah laku Estragon diperhatikan oleh sahabatnya, Vladimir, yang sudah berpisah satu malam. 
Mereka terus terang mengatakan, betapa gembiranya bersua lagi dan juga timbul pembicaraan, bagaimana tidak senangnya mereka kalau berkumpul, akan tetapi anehnya kehilangan masing-masing jika berpisah. Barangkali seperti itulah pertanda sebuah persahabatan sejati.
Pozzo, si tuan tanah yang sekilas telah disinggung, merupakan perlambang manusia zaman sekarang. Pikirannya ditumpahkan kepada pekerjaan, akan tetapi keindahan dan kebenaran terasa barang asing baginya. Dia buta dalam babak kedua, dan budaknya, Lucky, menjadi bisu. Oleh Samuel Buckett, dalam kondisi cacat semacam itu Pozzo digambarkan sangat mengharukan dengan marah-marahnya.
Oleh Vladimir, Pozzo diminta agar menyuruh budaknya menyanyi. 
Terjadilah dialog seperti berikut ini:
Pozzo: Dia bisu!
Vladimir: Bisu? Sejak kapan?
Pozzo: (sekonyong-konyong marah). Anda menyiksa saya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Saya benci mendengarnya. Kapan? Kapan? Pada suatu saat tentu. Tidak cukup jelas bagi anda? Pada suatu saat seperti mungkin akan terjadi pada orang lain dia menjadi bisu. Sebagaimana juga saya pada suatu saat menjadi buta. Suatu saat kita dilahirkan dan pada suatu saat kita akan mati. Saat itu, detik itu. Jelaskah sekarang bagi anda?
***

Di awal tulisan ini, telah kami kemukakan bahwa ketidakberdayaan, kegetiran hidup, terasing dari lingkungan sosial dan nyaris putus asa dalam menatap kehidupan menjadi inti lakon Menunggu Godot ini.   Namun demikian, Samuel Beckett juga menorehkan secercah harapan. Ibaratnya kita menelusuri sebuah terowongan gelap berliku-liku, namun tetaplah ada seberkas sinar di ujung terowongan sana.

Lantaran ada yang ditunggu itu, yakni Sang Godot, maka masih ada harapan. Dalam hidup dan kehidupan kita yang betapapun barangkali penuh kegetiran, harapan itu –sekecil apapun atau mungkin absurd– tidak boleh padam. Seperti halnya harapan Estragon dan Vladimir saat Menunggu Godot.

0 comments:

Post a Comment