Manusia Teater Surabaya
Mempersembahkan sebuah Perfoment Art Teater
dengan judul SAMBAL
Act :
Sutradara:
Latar Belakang
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya – baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.[1]
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya – baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.[1]
Vasco da Gama yang pertama-tama
berlayar dari Eropa menuju ke Afrika dan singgah di Asia.
Pada tahun1602 dia mendirikan VOC. Pada tahun
itu VOC memulai kekuasaannya.
Rempah-rempah khususnya "Pala" telah
digunakan sejak abad ke-16 di dapur Eropa. Pada saat
itu, Portugis yang memulai dalam
perdangan "Pala" ini.
Sejak
kedatangan VOC di Maluku, Belanda mencoba penduduk Banda dengan
paksaan untuk menjual semua "Fuli "dan " Pala "hanya
ke pada VOC , dengan harga yang lebih rendah dari pesaing mereka
"Inggris".
Kemudian
VOC mengirimkan pria-pria berlapis baja ke pulau yang tenang itu untuk
mengadakan eksekusi terhadap penduduk dengan membakar dan meratakan pulau itu.
Sebelumnya
penduduk Banda telah berjanji dibawah ancaman VOC untuk menjual rempah-rempah
ini ke VOC,namum mereka tidak memenuhi janji ini yang merugikan penduduk Banda,
Akhirnya pada tahun 1621 Jan Pieterszoon
Coen tiba di kepulauan Banda pada tanggal 10 Maart,
pada serangan yang keduanya, kemudian melakuan expedisinya yang terkenal "
Expirtatie" yaitu expedisi yang menentang aturan VOC yang melarang penjualan
"pala" ke Portugis dan Inggris. Siapa yang menduduki
Kepulauan Banda, dia yang memiliki hak monopoli. Banyak penduduk yang melarikan
diri kepegunungan dan akhirnya tertangkap dan akhirnya dikirim ke
"Batavia" sebagai tenaga paksa. Dan banyak korban-korban yang
berjatuhan dengan mengerikan .
Menurut laporan yang dicatat mengenai hal ini, saat
JP.Coen berkuasa dan dia melanggar aturan VOC, ada sekitar 2500 korban jiwa
dari penduduk, yang berjatuhan,disebabkan oleh kelaparan dan perlawanan
terhadap VOC. Selama J.P. Coen melakukan semua ekspedisinya, dia mengadakan
pembataian massal secara rahasia terhadap seluruh penduduk pulau itu,
agar rahasia penemuannya dari
"tanaman pala" terjaga aman.[2]
Kepulauan Banda pada saat itu
adalah satu-satunya tempat di dunia (khususnya di
Indonesia) sebagai pusat
tempat pencarian rempah-rempah. Banda pada saat itu
mulai di monopoli.
Belakangan VOC berusaha monopoli dalam perdagangan rempah-rempah. Dengan hasil rempah rempah seperti cengkeh, pala cukup berhasil hanya tumbuh di Maluku, Sulawesi. Dengan lada jauh
lebih sulit didapat, karena mengangkat tempat yang terlalu banyak. Belanda kemudian membentuk sebuah pos perdagangan penting di Batavia Jawa Barat. Dan daerah ini
digunakan sebagai basis kekuatan VOC untuk perdagangan.
Cara lain untuk menegakkan monopoli adalah wisata hongi. VOC berusaha menghancurkan semua pulau-pulau yang tidak bekerja sama, kecuali Amboina, karena mereka memiliki pohon-pohon cengkeh. Hal itu VOC lakukan untuk lebih mudah rempah-rempah bisa dikendalikan oleh VOC....semua ini dikarenakan rempah-rempah.
Cara lain untuk menegakkan monopoli adalah wisata hongi. VOC berusaha menghancurkan semua pulau-pulau yang tidak bekerja sama, kecuali Amboina, karena mereka memiliki pohon-pohon cengkeh. Hal itu VOC lakukan untuk lebih mudah rempah-rempah bisa dikendalikan oleh VOC....semua ini dikarenakan rempah-rempah.
Gramedia.com - Selama ribuan tahun, rempah-rempah memiliki banyak implikasi yang
membuatnya dicintai dan dibenci. Sejumlah daerah menganggap rempah sebagai
makanan terlarang. Rasa, tampilan, efek kesehatan, dan daya picu seksualnya
ditafsirkan sebagai rangkaian dosa yang meliputi keangkuhan, keserakahan, dan
hawa nafsu. Bangsa Eropa sangat menyukai rempah seperti lada, jahe, cengkeh,
dan kayu manis untuk menyamarkan rasa asin garam dan daging yang sudah lama dan
membusuk. Manfaat rempah tak selamanya positif.
Bagi penghasil rempah
seperti Indonesia, rempah justru mendatangkan petaka. Tercatat Inggris,
Portugis, Belanda, dan Jepang pernah menduduki Nusantara.
Daya tarik rempah
melahirkan banyak kisah di mana orang rela mempertaruhkan uang, tenaga, dan
nyawa. Cerita penjelajah legendaris dunia seperti Marco Polo, Christopher
Columbus, dan Vasco da Gama berawal dari pencarian sumber rempah. Mereka
bergerak berdasar intuisi arah dan imajinasi wujud tanaman rempah. Maka tak
heran ketika Columbus kembali dari Amerika (yang disebutnya sebagai Hindia)
menyebut kulit kayu pohon Karibia yang tidak teridentifikasi sebagai kayu
manis. Bangsa Eropa sama sekali belum pernah melihat tanaman rempah sehingga
imajinasi mereka terurai liar. Sebagai contoh, mereka membayangkan lada dipanen
seperti anggur, tumbuh di pohon, bukan di sulur seperti pada kenyataan.
Rempah-rempah banyak diburu
oleh bangsa imperialis karena mengandung banyak manfaat bagi kehidupan, salah
satunya sebagai peningkat gairah seksual. Ini membuat pasokan rempah-rempah di
negara Barat menjadi sangat krusial. Seiring dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, rempah yang pernah dijuluki sebagai hidangan para
dewa redup menyisakan kisah. Tentang bingar ribuan layar, yang pernah terkembang
untuknya.
0 comments:
Post a Comment