Showing posts with label Seni budaya. Show all posts
Showing posts with label Seni budaya. Show all posts
Manusia Teater Surabaya

Mempersembahkan sebuah Perfoment Art Teater
dengan judul SAMBAL

Samuel Becket (1906-1989), penulis lakon terkenal En Attendant Godot atau Menunggu Godot, adalah pemenang hadiah Nobel Sastra dari Akademi Swedia. Ia seorang pengarang Irlandia yang menulis dalam bahasa Perancis, namun kadang-kadang juga dalam bahasa Inggris.
Tatkala diumumkan sebagai pemenang hadiah Nobel Sastra pada 23 Oktober 1969, Samuel Becket berusia 63 tahun. Menurut Akademi Swedia hadiah itu dianugerahkan kepadanya, lantaran karya-karyanya yang berbentuk baru diusahakan untuk mengangkat derajat manusia dari kedudukannya yang serba sulit.

Teater itu  bukan berangkat hanya dari secara kolektiv art. Namun,  faktanya di zaman modern yang serba instan ini kebanyakan berangkat dari disiplin kolektiv art. Ketika yang sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia teater, apakah masih pantas jika berproses teater menunggu kesepakatan jadwal antara anggota satu dengan anggota yang lain, ini teater, bukan film.

Memang betul, meskipun dalam dunia teater itu minim dana atau lebih spesifiknya bisa dikatakan teater miskin, tapi setidaknya emosional berteater itu dibangun secara personity art untuk menjadi kolektiv art yang selaras dan sejalan ideologinya dengan teman-teman teaternya.

Coba kita lihat dulu dalam dunia teater di ruang akademisi (kampus) yang basic kampusnya bukan teater. Kebanyakan pelaku teater di ruang ini, masih mengalami kesulitan menyelaraskan antara ruang akademisnya, maksudnya yaitu kebanyakan dari mereka tidak bisa membagi waktu antara kuliah dan proses latihan teater, yang notabene menyampingkan salah satunya.


Eksistensi budaya memiliki konstribusi dalam bentuk identitas, peradaban dan sejarah manusia. Hal senada juga terungkap dalam torehan budaya Yunani yang terekam oleh perjalanan sejarah dan kita ulas sampai pada detik ini.



Dapat dilihat, bagaimana peran budaya dalam membentuk peradaban yang tatkala itu menjadi sasaran kajian, parameter budaya tinggi, bahkan menjadi sentral kultur dunia.

Historis budaya Yunani tersebut tertuang dalam mediasi yang berbeda-beda, mulai dari kreatifitas yang estetik sampai dengan moralitas yang menjunjung tinggi martabat. Senyatanya, tidak jarang kita menemukan budaya yang monumental yang sampai sekarang diakui didunia akan nilai estetiknya.

Dalam perjalanannya, karya kreatif yang menjunjung tinggi nilai imajinasi dan estetik tersebut ter-ejawantahkan menjadi “art”. Karya seni adalah perwakilan dari makna kehidupan dan hanyalah sebuah coretan manis dalam perjalanan manusia. Untuk lebih memaknai hasil karya seni, kita perlu kembali pada zaman fitrah yaitu dengan mengucapkan “nuranilah yang bisa memaknai”.

Dalam perkembangan dunia seni sekarang ini, karya seni hanya sebagai mediator keindahan. Lalu adakah yang lebih termaknai darinya hingga seorang seniman hanya biasa duduk lebih dekat dengan kemanusiaannya. Sedangkan karya dalam dunia seni dikemas dalam bentuk yang bermacam-macam. Tercakup di dalamnya adalah karya sastra, tari, musik, lukis, teater dan lain sebagainya. Agar karya tersebut menjadi lebih indah dan terjiwai, seorang seniman membuahkan karyanya dengan kejujuran jiwanya.

Persoalannya tidak mudah membagikan ataupun mentransformasikan art itu pada makhluk yang mendiami kosmos ini. Karena art itu sendiri telah dibuat menjadi semacam “lemper” oleh hamba-hambanya yang kapitalis. Tidak hanya art secara umum, nilai tradisi yang selama ini dianggap sakral oleh masyarakat, tetap saja dianggap komoditas olehnya. Art menjadi barang dagangan, yang hanya uang bisa memperolehnya. Padahal, art merupakan nafas kehidupan itu sendiri.

Hilangnya art dari denyut nadi berarti orang tersebut telah mati, maka tidak heran jika salah satu penyakit orang modern yang sulit dicari obatnya adalah kehilangan makna hidup ditengah materi yang melimpah. Maka kita berkewajiban mengingatkan dan menggugahnya bi al-hal atau bi al-lisan melalui sebuah karya.

Di tengah keriuhan sekaligus kericuhan dunia global, ternyata mengusung semangat mengacak tiga sendi kehidupan bangsa, yaitu; (1) Etik, (2) Estetika dan (3) Logika. Sekalipun ketiga sendi tersebut telah bersemi selama berabad-abad, pelan tapi pasti mengalami ketidakmapanan oleh dunia luar -global-.


Mirisnya, kekebalan senima tak memiliki ketahanan dari hegemoni tersebut. Bahkan, secara ekstrem seniman mengembangkan karya seni-nya merujuk pada standarisasi pesanan global -sang pemilik moral- bukan digali dari nilai lokal. Sehingga, apa yang dihadirkan seniman senantiasa tercerabut dari akar lokalitas dan tak jarang tidak ramah lingkungan. Karya seni sering kali mengambil jarak dari kebutuhan lokalitas, mengasingkan diri dalam kotak berbilik kecil. Maka jangan heran, sebuah karya seni kerapkali sulit difahami oleh akal awam, ia berdiri diambang kehampaan ruang dan waktu.

Lebih jauh, kreasi global ini menyulap mentalitas seniman, menghilangkan identitas diri sebagai bagian dari bangsa yang memiliki tiga sendi diatas. Menanggalkannya dalam tempo yang tak terbatas. Seniman bukan lagi menjadi subyek bebas berkarya, melainkan dipasung oleh sekian kepentingan, dijadikan boneka, dikepung oleh arogansi kekuasaan. Bahkan dihadapan kekuasaan, seniman tertunduk sambil memegang kemaluannya sebagi simbol kepatuhan. Seniman bukan lagi sebagai generasi manusia, yang kalau dirunut, seniman adalah generasi pasca kenabian, melainkan sebagai manusia yang tunduk oleh kuasa sebagai efek samping atas proyek tertentu.
 
Sebuah produk kesenian tak lagi sebagai sesuatu yang mencerahkan, mencerdaskan apalagi menggugat ketimpangan system sosial. Karya seni hanya melewati sensor standart estetika namun tak memiliki nilai etik apalagi merubah logika. Seni adalah air yang keluar dari kemaluan; sebuah kelamin yang senantiasa dipegang saat berhadapan dengan kekuasaan sembari menundukkan kepala, setunduk-tunduknya.