Showing posts with label Filsafat. Show all posts
Showing posts with label Filsafat. Show all posts

 
A.    Positifisme Empiris August Comte
a.     Biografi August Comte
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Perancis pada tahun 1798. Comte berasal dari kaum bangsawan. Sejak mahasiswa ia dikenal sebagai pemberontak dan akhirnya dipecat karena mendukung Napoleon.  Dalam karir prefesionalnya, Comte memberikan pelatihan di bidang matematika walaupun perhatian sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial.  Dalam perjalanan karirnya, ia banyak dipengaruhi oleh Saint Simon yang mempekerjakannya sebagai sektreataris, walaupun pada akhirnya mereka masing-masing memiliki pandangannya sendiri. Sumbangsih nyata dari Comte terhadap perkembangan filsafat dibarengi pula oleh sumbangan pemikirannya terhadap sosiologi. Awal munculnya aliran positivism didasarkan kepada kepercayaan terhadap hukum-hukum alam sebagai kendali terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu, dari dasar pemikiran ini kepercayaan terhadap takhayul, ketakutan, kebodohan, dan paksaan, dan konflik sosial dihilangkan dari masyarakat. Pandangan inilah yang menjadi awal kelahiran aliran positivism.[1]
b.     Pengertian Positivisme
Pengertian positif menurut Auguste Comte:
1.     Sebagai pensifatan sesuatu hal yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang mengatakan bahwa filsafat positifisme itu, dalam menyelidiki obyek sasaraannya berdasarkan pada kemampuan akal, sedangkan hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan saasaaran penyelidikan.
2.     Sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa didalam filsafat positifisme, segala sesuatu harrus diarahkan kepada pencapaian kemajuan.
3.     Sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti. Hal ini sesuaia dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus mencapai pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat.
4.     Sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Hal ini sesuai dengan ajarnnya yang menyatakan bahwa dalam pemikiran filsafati, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenei gejala-gejala yang Nampak maupun apa yang sebenarnya.[2]
c.     Ajaran-Ajaran Filsafat Positifisme Adalah:
1.     Hukum Tiga Tahap
Dalam karyanya Auguste Comte, dia menjelaskan bahwa sejarah umat manusia baik secara individual maupan keseluruhan, berkembang melalui tiga tahap yaitu teologi atau fiktif, metafisik, dan positif atau riel.
a.     Tahap Teologi
Dalam tahap ini, mannusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujauan akhir segala sesuatu yang ada. Menurut dia tahap teologi ini akan muncul begitu saja, melalui didahului pula oleh suatu yang berkembang secara bertahap, yaitu
·      Fetisyisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempumyai tanggapan bahwa segala sesuatu yang berada disekililing manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri, dan mempunyai pengaruh yang menentukan kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud segala sesuatu itu adalah  gunung, sungai, pohon, dan segala sesuatu yang dibuat manusia itu sendiri.
·      Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari benda-benda yang berasal dari benda-benda yang berada disekeliling manusia, melainkan dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan.
·      Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lag iberasal dari dewa-dewa, melainkan berasal dari suatu yang mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
b.     Tahap Metafisik
Dengan berakhirnya monoteisme berakhir pula tahap teologi, ini disebabkan karena manusia mulai merubah cara-cara berfikirnya, dalam usahanya utuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala alam. Menurut Auguste Comte, tahapini merupakan tahap peralihan sebagaimana yang dialami oleh setiap manusia. Menurut Auguste Comte dalam sejarah kehidupan manusia, yang dimaksud dengan tahap metafisik adalah tahap ketika umat manusia datang pada zaman Reinissence.
c.     Tahap Positif
Tahap positif merupakan tahap dimana jiwa manusia sampai pada pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi pasti, jelas, dan bermanfaat. Tahap ini menurutnya merupakan tahap perkembangan masyarakat pada saat industrialisasisudah dapatdikembangkan, disartai peranan kaum cendekiawan dan industrialis yang bersama-sama mengatur masyarakat secara ilmiah.[3]
d.     Penggolongan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan menggunakan metode-metode tertentu. Ilmu pengetahuan prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematiskan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan Auguste Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan     bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala pengetahuan yang semakin lama semakin rumit atau kompleks dan semakin kongkret. Karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahuan, Auguste Comte memulai dengan mengamati gejala-gejala yang paling sederhana, yaitu gejala yang letaknya paling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari. Urutan dalam penggolongan ilmu pengetahuan Auguste Comte sebagai berikut:
1. Ilmu pasti (matematika)
2. Ilmu perbintangan (astronomi)
3. Ilmu alam (fisika)
4. Ilmu kimia
5. Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)
6. Fisika sosial (sosiologi)
Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Auguste Comte secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagi berikut:
1. Ilmu pengetahuan
a. Logika (matematika murni)
b. Ilmu pengetahuan empiris (astronomi, fisika, biologi, sosiologi)
2. Filsafat
a. Metafisika
b. Filsafat ilmu pengetahuan

B.    Logika Induksi John S. S.mill
1.     Biografi John S. Smill
John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 – meninggal di Avignon, Perancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun) adalah seorang filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial. Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang merupakan inti filsafat Mill, dari ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Perancis untuk mempelajari bahasa, kimia, dan matematika

2.     Pengertian Logika
Sebelum kita membahas tentang logika induksi, terlebih dahulu kita mengetahui apa itu logika. Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Mil Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematik. [4]
Logika merupakan suatu dasar untuk memperoleh pengetahuan yang benar, sebab tanpa logika penalaran tidak mungkin dilakukan, dan tanpa penalaran pengetahuan tidak akan dibenarkan. Kegiatan penalaran tidak akan lepas dari logika. Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran. Dasar penalaran logika ada dua yaitu, penalaran logika deduktif dan penalaran logika induktif.
Logika Induksi adalah sebuah proses penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu, bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi.
Menurut John Stuart Mill, penalaran logika induktif adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Contohnya,
Kuda Sumba punya sebuah jantung
Kuda Australia punya sebuah jantung
Kuda Amerika punya sebuah jantung
Kuda Inggris punya sebuah jantung
Setiap kuda punya sebuah jantung

Dalam logika induksi disini terbagi atas empat asumsi yaitu:
1.     Generalisasi
2.     Hipotesis dan Teori
3.     Analogi
4.     Sebab-Akibat[5]
3.     Empat Macam Kejadian Logika Induksi
Pada pembahasan kali ini kita akan menjelaskan “Logika Induksi” oleh John S. Mill. Ia mengemukakan logika induksinya dengan cara menelaah sebab-akibat kejadin. Sebab-akibat yang dipaparkan oleh John S. Smill ini dibagi atas empat macam yaitu:
a.     Metode Persetujuan, yaitu jika dua hal atau lebih dari fenomena yang diteliti memiliki hanya satu faktor yang sama, maka faktor satu-satunya di mana hal-hal itu bersesuaian adalah sebab (atau akibat) dari fenomena yang diteliti itu.
b.     Metode Perbedaan, yaitu jika satu hal terjadi dalam fenomena yang diteliti, dan satu hal yang tidak terjadi dalam fenomena yang diteliti itu, memiliki semua faktor yang sama, terkecuali satu yang terjadi pada hal yang pertama, maka satu-satunya faktor di mana kedua hal itu berbeda adalah akibat atau sebab yang sangat menentukan sebab dari fenomena tersebut
c.     Metode Persamaan Variasi, yaitu fenomena apa pun juga yang dengan suatu cara mengalami perubahan kapan pun fenomena lainnya dengan suatu cara tertentu mengalami perubahan adalah sebab atau pun akibat dari fenomena tersebut, atau berhubungan dengan fenomena tersebut selaku fakta yang menyebabkan perubahan itu.
d.     Metode Residu (sisa-sisihan), yaitu dari suatu fenomena hilangkanlah bagian yang lewat berbagai induksi yang telah dilakukan sebelumnya diketahui akibat dari antesenden-antesenden tertentu, dan residu (sisa) fenomena adalah hasil dari antesenden yang masih tertinggal.[6]

Ada empat hukum dasar dalam Logika Induksi (Aristotoles,   ;G.W. Leibniz, 1646-1716; John  Stuart Mill, 1806-1873.
1.     Hukum Identitas (Principium Identitatis/Law of Identity) yang menegaskan bahwa sesuatu itu adalah sama dengan dirinya sendiri. Hukum ini adalah hukum kesamaan yang artinya bahwa jika a=b dan b=c, maka a=c atau a terjadi maka  c juga terjadi.
2.     Hukum Kontradiksi (Principium Contradictionis/Law of Contradiction) atau hukum perbedaan, yang menyatakan bahwa sesuatu itu pada saat yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Jika a tidak sama dengan b, dan b tidak sama dengan c, maka tidak mungkin a dan c terjadi bersamaan pada waktu yang sama. 
3.     Hukum Tiada Jalan Tengah (Principium Exclusi Tertii/Law of Excluded Middle) yang mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan lain. Jika a diketahui dan b diketahui, maka adanya  kejadian tersebut (c) mesti karena sebab lain.
4.     Hukum Cukup Alasan (Principium Rationis Sufficientis/Law of Sufficinet Reason) yang menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu haruslah berdasarkan alasan yang cukup. Artinya tidak ada perubahan yang tiba tiba tanpa alsan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Hukum ini merupakan hukum pelengkap hukum identitas.


DAFTAR PUSTAKA
Kwee, Beerling & Van Peursen, Mooij. Pengantar Filsafat Ilmu. 1986 Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.


Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. 2002. Yogyakarta: Kanisius.


Wibisono, Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. 1996. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Poedjawijatna. Logika Filsafat Berfikir. 1992. Jakarta: Rineka Cipta.



[1] . Harun  Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius. 2000, Hal 18

[2] . Poedjawijatna, Logoka Filsafat Berfikir (Jakarata: Rineka Cipta, 1992), h. 70.
[3] .Ibid. hal 80
[4] . Wikipedia, “John Stuart Mill,” Artikel diakses pada 09 Mei 2012 dari http:// /Belajar Filsafat  Logika (3), Deduksi, Induksi, dan Abduksi.htm

[5] Ibid, hal 65
[6] . Berling Kwe & Van Peursen, Mooij. Pengantar Filsafat Ilmu. 1986 Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.



  
Sekilas tentang Francis Bacon
Francis Bacon (1561-1626) adalah anak dari Sir Nicholas Bacon salah seorang pengawal Ratu Elizabeth I. Ia memasuki sekolah Trinity College pada usia tiga belas tahun dan di sinilah ia mengembangkan sebuah pemikiran antipati terhadap filsafat Aristoteles[1].
Pada usia mudanya, Bacon telah mempelajari pemikiran Plato dan Aristoteles di Trinity College Cambridge pada tahun 1573. Tahun 1576, Bacon menyelesaikan sekolahnya dan langsung berkunjung ke Paris. Pada tahun 1580, Bacon kembali ke London setelah mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal dunia. Untuk mengisi waktunya, Bacon bekerja sebagai pengacara, dan pada tahun 1586 ia diangkat sebagai penasihat negara. Setelah 11 tahun bekerja, Bacon dituduh oleh parlemen menerima suap dan akhirnya dimasukan ke penjara pada tahun 1598. Selama dalam tahanan, Bacon sangat aktif melakukan kajian intelektual dan eksperimen ilmiah.[2]
Bacon menghabiskan waktunya di penjara kurang lebih selama lima tahun. Hukuman ini diberikan oleh pemerintahan ratu Elizabeth I setelah mempertahankan prinsip yang bertentangan dengan pihak kerajaan. Selama di penjara ia juga dijauhkan dari kehidupan publik, namun akhirnya ia mendapatkan remisi dari pihak kerajaan setelah beberapa waktu lamanya.
Bacon adalah seorang filosof yang berpengaruh pada zamannya. Menurut para ilmuan, Bacon dianggap sebagai perintis perkembangan yang cukup besar pada abad ke 17. Rintisannya terkait dengan keinginan Bacon untuk meninggalkan ilmu pengetahuan lama dan mengusahakan ilmu yang baru. Menurut pemikirannya, ilmu pengetahuan lama tidak sanggup memberikan kemajuan, tidak dapat memberikan hasil-hasil yang bermanfaat serta tidak dapat melahirkan hal-hal baru yang berfaedah bagi kehidupan umat manusia.
Bacon adalah seorang filosof yang sangat mencolok minatnya pada ilmu pengetahuan. Bahkan dia dianggap sebagai perintis filsafat ilmu pengetahuan. Ungkapan Bacon yang terkenal adalah “Knowledge is Power” (pengetahuan adalah kuasa). Dia sangat berkeyakinan bahwa pengetahuan adalah sumber kemenangan dan kemakmuran manusia di dunia ini. Dengan pengetahuan, manusia dapat menciptakan Mesiu untuk memperoleh kemenangan dalam perang. Dengan pengetahuan, manusia juga dapat membuat Kompas yang bisa digunakan sebagai penunjuk arah dalam mengarungi lautan atau membuat Mesin Cetak untuk mempercepat penyebaran ilmu pengetahuan.
Melihat urgensinya ilmu pengetahuan, makanya manusia harus dapat menguasainya. Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu hakikat dari pengetahuan itu sendiri. Menurut Bacon, hakikat pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta. Persentuhan ini biasanya disebut pengalaman. Bacon berpendapat, pengalaman dari hasil pengamatan yang bersifat partikular akan menemukan pengetahuan yang benar, dan oleh karena itu ia yakin bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan sejati.
Bacon berpendapat bahwa orang Yunani terlalu terpesona dengan masalah etis, orang Romawi dengan soal hukum, dan orang pada Abad Pertengahan dengan teologi. Menurut anggapan Bacon, mereka semua tidak memusatkan diri pada ilmu pengetahuan. Misalnya saja pada Abad Pertengahan, ilmu diperlakukan sebagai abdi setia teologi. Perlakuan itu dianggapnya keliru, karena melalui ilmu itulah, manusia akan dapat memperlihatkan kemampuan kodratinya. Atas dasar pemikiran tersebut, Bacon menyatakan “Knowledge is Power” (pengetahuan adalah kuasa). Menurut pemahaman Bacon, pengetahuan inderawi tidak dapat menguasai segalanya, namun pengetahuan inderawi bersifat fungsional, dapat dipergunakan untuk memajukan kehidupan manusia. Sedangkan “kuasa” dipahaminya sebagai kuasa atas alam (natura non nisi parendo vincitur artinya alam hanya dapat ditaklukkan dengan mematuhinya). Maksud Bacon, bahwa alam hanya bisa dikuasai oleh pikiran kalau pikiran dapat mematuhinya dengan cara memahami hukum-hukumnya, mempelajari sifat universalnya dan perkecualiannya. dengan menaklukkan alam, Bacon sangat percaya umat manusia dapat sejahtera melalui ilmu pengetahuannya.


A.    Pengertian Metode Induksi Francis Bacon
Secara umum induksi dijelaskan sebagai proses berpikir di mana orang berjalan dari yang kurang universal menuju yang lebih universal, atau dengan kata lain dari yang individual/ partikular menuju ke yang umum/ universal. Induksi bisa mengantarkan manusia pada tingkatan inderawi dan individual menuju ke tingkatan intelektual dan universal.[3]
 Dalam segala bentuknya yang lebih khusus induksi merupakan persoalan generalisasi empiris, yakni kita berargumen bahwa karena sesuatu telah terbukti benar dalam sejumlah kasus yang diamati, besar kemungkinan yang diperoleh tidak bersifat pasti (kecuali dalam kasus-kasus khusus), tapi bisa menjadi sangat besar kemungkinannya dan seluruh prediksi rasional kita mengenai masa depan tergantung pada referensi ini. Pengambilan kesimpulan dengan induksi sudah pasti tidak sekedar masalah empiris karena kita bisa menggunakannya untuk menyimpulkan apa yang belum kita amati.[4]
C.   Hubungan Metode Induksi Dan Eksperimen
Merujuk pada pernyataan David Hume[5] bahwa argumentasi yang bersifat induktif bersandar pada suatu keanekaragaman, kebiasaan dan pengalaman, hal ini sesuai dengan apa yang menjadi stressing point Francis Bacon dengan menekankan aspek eksperimen sebagai hal penting untuk menaklukan alam dengan rahasianya (to torture nature for her secrets). Dalam hal ini Bacon menyebutnya sebagai komposisi sejarah alamiah dan eksperimental (the composition of a natural anda experimental history). Menurutnya, eksperimen sangat penting karena jika kita dengan sederhana mengamati tentang apa-apa yang terjadi di sekitar kita, maka kita dibatasi dalam data-data yang kita kumpulkan, ketika kita menampilkan sebuah percobaan kita mengendalikan keadaan pengamatan sejauh mungkin dan memanipulasi keadaan dari percobaan untuk melihat apa yang terjadi dalam lingkungan-lingkungan di mana hal sebaliknya tidak pernah terjadi. Eksperimen memungkinkan kita untuk menanyakan “apa yang terjadi jika kita melakukan percobaan-percobaan ...?”. Bacon menyatakan bahwa dengan mengadakan percobaan-percobaan kita mampu menaklukan alam dan rahasianya.[6]
Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern. Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data-data partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natura). Untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan metode induksi, Bacon mengemukakan ada dua cara yang harus dilakukan, yaitu:
1)    Rasio yang digunakan harus mengacu pada pengamatan inderawi yang partikular, kemudian mengungkapnya secara umum.
2)    Rasio yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang partikular digunakan untuk merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu sendiri, kemudian secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar pengamatan.
Untuk menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, Bacon menyarankan agar menghindari empat macam idola atau rintangan dalam berpikir, yaitu:
1)    Idola tribus (bangsa) yaitu prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan tatanan alamiah sehingga seringkali orang tidak mampu memandang alam secara obyektif. Idola ini menawan pikiran orang banyak, sehingga menjadi prasangka yang kolektif.
2)    Idola cave (cave/specus = gua), maksudnya pengalaman dan minat pribadi kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan.
3)    Idola fora (forum = pasar) adalah yang paling berbahaya. Acuannya adalah pendapat orang yang diterimanya begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan dan penilaiannya yang tidak teruji.
4)    Idola theatra (theatra = panggung). Dengan konsep ini, sistem filsafat tradisional adalah kenyataan subyektif dari para filosofnya. Sistem ini dipentaskan, lalu tamat seperti sebuah teater. [7]
Apabila seorang ilmuan sudah luput dari semua idola itu, mereka sudah mampu melakukan penafsiran atas alam melalui induksi secara tepat. Induksi tidak boleh berhenti pada taraf laporan semata, karena ciri khas induksi ialah menemukan dasar inti (formale) yang melampaui data-data partikular, berapapun besar jumlahnya. Dalam hal ini perlu difahami bagaimana tahapan-tahapan induksi sebagai berikut:
A.   Pertama yang perlu dilakukan adalah pengumpulan data  yang bersifat heterogen tentang suatu hal.
B.     Kemudian urutannya akan nampak dengan jelas, yang paling awal adalah peristiwa konkrit partikular yang sebenarnya terjadi (menyangkut proses atau kausa efisien), kemudian suatu hal yang lebih umum sifatnya (menyangkut skema, atau kausa materialnya),
C.    Baru akan ditemukan dasar inti. Dalam hal dasar inti ini, pertama-tama ditemukan dasar inti yang masih bersifat partikular, yang keabsahannya perlu diperiksa. Jika yang ini sudah bagus, barulah boleh terus maju menemukan dasar inti yang semakin umum dan luas. Bagi Bacon, begitulah langkah-langkah induksi yang tepat.
Berdasarkan uraian di atas, Bacon memberikan ketegasan bahwa induksi adalah menarik kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus. Induksi bukanlah penjumlahan belaka dari data-data khusus. Jika hal tersebut dilakukan, induksi itulah yang dianggap menyesatkan, sebab hanyalah generalisasi yang gegabah. Agar induksi mencapai kesimpulan obyektif yang bersih dari idola-idola. induksi sendiri memiliki beberapa sifat yang tidak boleh dihilangkan atau diabaikan.
Diantara sifat-sifat yang tidak boleh diabaikan tersebut adalah:
1.      Bukan subjektivitas, sampai menjadi tergantung dari perasaan dan keinginan pribadi, melainkan mengenal objek dalam dirinya sendiri.
2.      Bukan pragmatis, sampai mencari untung atau kegunaan praktis tetapi melihat objek apa adanya.
3.      Bukan abstrak, sampai terjadi hal konkret dan individual tigak digubril lagi, tetapi justru situasi dan lingkungan konkret dipahami.[8]


D.   Problem Induksi
Keterbatasan induktivisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam Suriasumantri (1994) terdiri atas tiga bagian.
a)     Pengalaman yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
b)    Dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan induktivisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan. Misalnya saja bagaimana tongkat lurus yang terendam di dalam air akan kelihatan bengkok.
c)     Dalam induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam induktivisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dalam Chalmer (1983), dinyatakan bahwa argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen yang valid secara logis. Bisa terjadi penyimpulan argumen yang salah, walaupun premisnya benar. Misalnya, setelah dilakukan observasi terhadap sejumlah besar gagak pada variasi kondisi yang luas, ternyata didapat fakta gagak berwarna hitam. Maka dapat disimpulkan semua gagak adalah hitam. Ini adalah penyimpulan induktif yang valid dan sempurna. Namun disini tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi bisa saja ada yang coklat atau merah jambu. Kalau hal ini terbukti, maka kesimpulan semua gagak hitam adalah salah.
Penalaran induktif bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat. Induktif bisa dihasilkan karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus. Tetapi berapa pun banyaknya observasi/pengamatan, tetap saja generalisasi yang didapat sukar dibuktikan atau salah. Misalkan seekor ayam diberi makan oleh pemiliknya sedemikian sehingga ayam tersebut setiap kali pemiliknya mendekat selalu tahu bahwa saat itulah ia akan disuguhi makanan yang akan mengenyangkan dirinya. Dengan demikian ayam (secara instingtif) memiliki pengetahuan atas suguhan makanan dengan pembiasaan yang diulang ulang. Maka seekor ayam akan menyimpulkan bahwa ketika majikan datang sama dengan makanan datang. Ini merupakan kesimpulan umumnya. Namun suatu ketika majikan datang dan sang ayampun mendekat. Bukan makanan yang di dapat oleh sang ayam tapi tebasan pisau yang meneteskan darah dilehernya. Majikan datang sama dengan maut. Dengan demikian kesimpulan umum bahwa majikan datang sama dengan makanan menjadi sebuah pengetahuan yang salah dan menjerumuskan sang ayam itu sendiri.
Tidak beda dengan hal ini adalah kepercayaan kita atas terbitnya matahari dari timur. Karena setiap hari matahari selalu saja terbit dari timur (walaupun mengalami pergeseran sedikit kearah utara atau selatan), hal ini tidaklah menjadikan kesimpulan bahwa matahari selalu terbit dari timur merupakan sebuah kebenaran mutlak. Tidak menutup kemungkinan suatu saat matahari bisa terbit dari barat, utara atau selatan. Dari sini tampak bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan tetapi pengetahuan yang probabel/berpeluang benar.
Disini terdapat satu bukti rasional bahwa penalaran induktif bisa jadi menghasilkan kesimpulan yang berbahaya dan salah kaprah. Pengetahuan kita yang bersumber dari penalaran atau pemikiran induktif bisa jadi salah. Bukan makanan yang datang melainkan kematian. Demikianlah seperti contoh sang ayam.
Menurut pandangan Hume, penalaran induksi sering pula dikaitkan dengan sebuah korelasi atau hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap dua buah kejadian yang berbeda. Hasil-hasil kesimpulan secara induksi juga dikaitkan dengan kausalitas sebuah kejadian. Karena sedemikian sering kejadian A diikuti oleh kejadian B, maka diambil kesimpulan bahwa kejadian A merupakan penyebab kejadian B. Hutan yang gundul menyebabkan banjir.
Meskipun metode penalaran induktif bisa saja menghasilkan kesimpulan yang salah, namun setidaknya kesimpulan yang diperoleh itu beralasan. Sehingga kita tidak dapat mengatakan induksi sebagai suatu kesalahan karena untuk melakukan perkiraan atau asumsi dengan induksi adalah valid. Memang benar kita tidak dapat memastikan bahwa suatu teori/hipotesa melalui induksi itu benar, namun kita dapat memastikan bahwa teori/hipotesa itu belum salah. Inilah landasan berpikir saintifik. Selama masih belum ditemukan keaslahan teori/hipotesa itu, maka teori/hipotesa itu akan selalu dianggap benar. Dengan demikian induksi memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.


Daftar Pustaka
·      John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, (New York: Oxford University, 2001)
·      Henry Van Laer, Filsafat Ilmu; Ilmu Pengetahuan Secara Umum, (Yogyakarta: LPMI, 1995)
·      Ewing, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
  • Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat; Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat Agama, Filsafat Pikiran, dan Filsafat Politi, (New York: Palgrave MacMillan, 2002)
·      James Ladyman, Understanding Philosophy of Science, (New York: Routledge, 2002)
·      Riski Amalia Putri, Problema Induksi dan Ketergantungan Observasi pada Teori , diakses tanggal 2 april 2012
  • Anton Bakker dan Achmad Charis Zubari, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisisus, 1990)


[1] John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, (New York: Oxford University, 2001), hal. 54
[3] Henry Van Laer, Filsafat Ilmu; Ilmu Pengetahuan Secara Umum, (Yogyakarta: LPMI, 1995), hal. 69.
[4] Ewing, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 65.
[5]Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat; Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat Agama, Filsafat Pikiran, dan Filsafat Politi, (New York: Palgrave MacMillan, 2002), hal. 23.
[6] James Ladyman, Understanding Philosophy of Science, (New York: Routledge, 2002), hal.23.
[7] Riski Amalia Putri, Problema Induksi dan Ketergantungan Observasi pada Teori , diakses tanggal 2 oktober 2010.
[8] Anton Bakker dan Achmad Charis Zubari, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisisus, 1990), hal. 43-44.